Rabu, 25 April 2018

MAKALAH TEORI CERMIN DIRI


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Seseorang hanya bisa berkembang dengan bantuan orang lain. Misalkan seorang orang tua dan keluarganya mengatakan bahwa anak gadisnya cantik. Kalau hal ini cukup sering diulang-ulang secara konsisten, oleh orang-orang yang cukup berbeda-beda, akhirnya gadis tersebut akan merasa dan bertindak seperti seorang yang cantik.
Orangorang cantik sering tampak lebih tenang dan percaya diri daripada orang bermuka buruk, karena mereka dinilai dan diperlakukan berbeda. Namun, seorang gadis cantik sekalipun tidak akan pernah benar-benar yakin bahwa ia cantik kalau dari awal hidupnya orang tua bersikap kecewa dan apologetis (rasa menyesal) terhadap gadis itu dan memperlakukannya sebagai anak yang tidak menarik.
“Diri” yang ditemukan melalui tanggapan orang lain dinamakan “diri cerminan orang lain” (cermin diri) oleh Cooley (1902, Horton, 1993), yang dengan hati-hati menganalisis segi penemuan diri ini. Mungkin saja ia telah mendapat inspirasi dari kata-kata dalam sandiwara Vanity Fair (Thackeray): “Dunia adalah sebuah cermin dan memberikan kepada setiap orang bayangan dari mukanya sendiri. Kerutkan dahi di hadapannya, dan bayangan masam akan tampak di hadapan anda; tertawalah di depan bersamanya dan anda akan memperoleh sahabat yang baik dan riang”.
Tiga langkah dalam proses pembentukan cermin diri:
1.      Persepsi kita tentang bagaimana kita memandang orang lain.
2.      Persepsi kita tentang penilaian mereka mengenai bagaimana kita memandang.
3.      Perasaan kita tentang penilaian.
Calvin dan Holtzman (1953) menemukan bahwa setiap individu memiliki kemampuan yang berbeda dalam merasakan secara tepat pendapat orang lain tentang mereka, dan bahwa orang yang kurang mampu menyesuaikan dirinya dengan pandangan-pandangannya juga kurang akurat.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Teori Cermin Diri
   Teori Cermin Diri (The Looking Glass Self) ini dikemukakan oleh Charles H. Cooley. Teori ini merupakan gambaran bahwa seseorang hanya bisa berkembang dengan bantuan orang lain. Setiap orang menggambarkan diri mereka sendiri dengan cara bagaimana orang - orang lain memandang mereka, misalnya ada orang tua dan keluarga yang mengatakan bahwa anak gadisnya cantik. Jika hal itu sering diulang secara konsisten oleh orang - orang yang berbeda - beda, akhirnya gadis tersebut akan merasa dan bertindak seperti seorang yang cantik. Teori ini didasarkan pada analogi dengan cara bercermin dan mengumpamakan gambar yang tampak pada cermin tersebut sebagai gambaran diri kita yang terlihat orang lain.

   Gambaran diri seseorang tidak selalu berkaitan dengan fakta - fakta objektif, misalnya seorang gadis yang sebenarnya cantik, tetapi tidak pernah merasa yakin bahwa dia cantik karena mulai dari awal hidupnya selalu diperlakukan orang tuanya sebagai anak yang tidak menarik. Jadi, melalui tanggap orang lain, seseorang menentukan apakah dia cantik atau jelek, hebat atau bodoh, dermawan atau pelit, dan sebagainya.
   Ada tiga langkah dalam proses pembentukan cermin diri, yaitu sebagai berikut.
a.       Imajinasi tentang pandangan orang lain terhadap diri seseorang, seperti bagaimana pakaian atau tingkah lakunya di mata orang lain.
b.      Imajinasi terhadap penilaian orang lain tentang apa yang terdapat pada diri masing - masing orang, misalnya pakaian yang dipakai
c.       Perasaan seseorang tentang penilaian - penilaian itu, seperti bangga, kecewa, gembira atau rendah diri.
B.     Mead dan Konsep Generalisasi Orang Lain
Proses penghayatan sikap orang lain telah digambarkan dengan tepat oleh George Herbert Mead (1934) yang telah mengembangkan konsep generalisasi orang lain.
Generalisasi orang lain ini terdiri dari harapan-harapan yang diyakini seseorang diharapkan orang lain dari padanya. Kalau seseorang berkata: “Setiap orang mengharapkan saya untuk…”, seseorang memakai konsep generalisasi.
Kesadaran akan generalisasi orang lain berkembang melalui proses pengambilan peran dan permainan peran. Pengambilan peran (role taking) adalah suatu usaha untuk memainkan perilaku yang diharapkan dari seorang yang benar-benar memegang peranan yang diambilnya.
Dalam permainan (role playing), anak-anak banyak pengambilan peran, seperti ketika mereka berpura-pura sebagai suatu keluarga (kamu jadi mama dan saya akan menjadi papa dan kamu menjadi bayi), sebagai polisi dan pencuri, bermain dengan boneka.
Permainan peran adalah pemeranan perilaku suatu peran yang betul-betui dipegang oleh seseorang (misalnya, ketika anak laki-laki dan perempuan tadi menjadi ayah dan ibu), sedangkan pada pengambilan peran seseorang hanya berpura-pura memegang peran itu.
Mead melihat adanya tiga proses bertingkat melalui mana seseorang belajar memainkan peran dewasa; (I) masa persiapan (1-3 tahun), di mana anak-anak meniru perilaku orang dewasa tanpa pengertian yang nyata (misalnya, seorang gadis kecil memeluk bonekanya, kemudian menggunakannya untuk memukul saudara lakilakinya); (II) masa bermain (3-4 tahun) ketika anak sudah memiliki pengertian perilaku tersebut, tetapi mengubah peran secara tidak teratur. Suatu saat anak laki-laki itu menjadi seorang ahli bangunan, menumpuk balok-balok satu dengan lainnya, dan sesaat kemudian ia merusaknya, atau pada suatu ketika ia menjadi polisi dan sesaat kemudian seorang astronot; (III) tahap permainan, (4 sampai 5 tahun dan di atas 5 tahun) di mana perilaku peran menjadi menetap dan memiliki tujuan dan anak itu mampu merasakan peran pemain lain. Untuk bermain sepakbola, setiap pemain harus mengerti perannya sendiri dan juga peran pemain lain.
C.    Delapan Tahap Kehidupan Erikson
Eric Erikson mengembangkan suatu teori tentang sosialisasi siklus kehidupan (life cycle socialization) melalui 8 tahap yang disebut krisis identitas (identity crisis). Krisis indentitas adalah titik balik dalam perkembangan ketika seseorang harus masuk ke dalam satu dari dua arah yang umum.
Tahap pertama bermula pada masa bayi, ketika bayi belajar baik rasa percaya ataupun rasa tidak percaya. Kalau ibunya secara konstan mencintai dan memperhatikan kebutuhan fisiknya, bayi tersebut membentuk perasaan aman dan percaya. Kalau ibu tersebut tidak memperhatikan, dingin, menolak atau kejam, atau malah inkonsisten, bayi itu menjadi merasa tidak aman dan tidak percaya pada orang lain. Pada tahap kedua, masa kanak-kanak awal, “otonomi versus rasa bimbang dan malu”, anak-anak belajar berjalan, berbicara, mempergunakan tangannya dan melakukan berbagai hal lain. Mereka mulai membangun otonomi; yakni, mereka mulai memilih sendiri, mengungkapkan keinginan-keinginannya, membentuk dan mengejar harapan-harapan.
Kalau didorong dan berhasil, mereka akan mengembangkan rasa otonominya, merasa diri sebagai orang yang cakap (mampu).
Pada tahap ketiga, seseorang memutuskan konflik Oedipusnya dan mulai mengembangkan pengertian moralnya. Dalam tahap keempat dunia anak itu meluas, keterampilan teknis dipelajari, rasa percaya diri diperbesar. Keempat tahap ini cocok dengan empat tahap perkembangan psikoseksual anak dari Freud, yakni oral, anal, genital dan laten. Dalam tahap kelima remaja mengembangkan rasa identitas pribadi melalui interaksi dengan orang lain. Dalam tahap keenam orang dewasa mengembangkan hubungan kasih yang awet dengan lawan jenisnya. Dalam usia setengah baya, di tahap ketujuh, seorang mengembangkan sesuatu pada keluarga dan pada masyarakat. Dalam tahap terakhir, seseorang menghadapi masa akhir hidup (masa tua) baik secara terhormat ataupun penuh putus asa. Untuk setiap tahap, ada kebajikan mendasar yang menyertainya, yang berkembang dengan berlalunya krisis itu dengan berhasil. Bila belajar yang cocok pada suatu tahap terlewat, tahap tersebut mungkin saja, walaupun sukar, diperoleh pada masa usia lanjut.
D.    Piaget dan Perkembangan Belajar
Jean Piaget, seorang ahli biologi yang memperoleh nama sebagai psikolog anak, karena mempelajari perkembangan inteligensi. la menghabiskan ribuan jam mengamati anak-anak yang sedang bermain dan menanyakan mereka tentang perilaku dan perasaannya. la tidak mengembangkan teori sosialisasi yang komprehensif, tetapi memusatkan perhatian pada bagaimana anak-anak belajar berbicara, berfikir, bernalar dan akhirnya membentuk pertimbangani moral.
Piaget yakin bahwa anak-anak berfikir dengan cara yang berbeda dari orang dewasa dan bahwa manusia direncanakan secara biologis untuk bergerak maju menuju pemikiran yang rasional dan logis melalui serangkaian tahap-tahap perkembangan yang dapat diduga. Tahap “perkembangan” adalah bahwa belajar dari suatu tahap adalah perlu untuk melangkah ke tahap berikutnya. Sama seperti anak kecil harus belajar berjalan sebelum dapat belajar berlari, ia harus belajar patuh pada peraturan-peraturan eksternal sebelum ia dapat mengembangkan pengendalian diri herdasarkan nilai-nilai moral. Anak kecil itu dapat mempelajari aturan-aturan yang nyata (“cuci tangan sebelum makan”, “makan dengan tangan kanan”) tetapi tidak dapat menangkap makna di belakangnya.
Perkembangan belajar yang dikembangkan oleh Piaget adalah sebagai berikut:
1.      Tahap pertama perkembangan moral disebut dengan heteronomous  morality, moral realism, atau morality of constraint. Tahap ini merupakan moralitas yang belum matang secara intelektual, yang dipengaruhi oleh salah satu sisi kasih-sayang orang dewasa yang ada di sekitar anak. Heteronomous morality seorang anak merupakan ungkapan struktur yang secara umum belum matang, masih bersifat egosentris dan statis.
2.      Pada tahap kedua perkembangan moral, yang biasa disebut dengan autonomous morality atau morality in cooperation, anak memperoleh kemandirian dalam pembuatan keputusan moral, atau anak memperoleh kemampuan untuk memainkan peran sesuai dengan perkembangan intelektualnya, selain itu juga ketergantungan pada orang dewasa mulai diubah menjadi kesederajatan dalam kerjasama sosial.
Moralitas tidak lagi didasarkan pada kaidah-kaidah yang ditentukan oleh orang-orang yang memiliki kewenangan yang tidak bisa diubah, tetapi kaidah-kaidah itu dipandang sebagai suatu sistem yang menunjukkan hak-hak dan kewajiban yang sama, suatu sistem yang memiliki tujuan membuat fungsi kelompok sosial sebagaimana adanya. Sumbangan besar Jean Piaget dalam teori kepribadian, khususnya
dalam perkembangan moral adalah meletakkan dasar untuk memahami fase-fase perkembangan pemikiran moral anak. Ruang lingkup kajiannya meliputi: (1) bagaimana anak melihat peraturan dan hukum, (2) bagaimana anak memutuskan perilaku yang jelek dan dusta, dan (3) bagaimana anak melihat hukuman dan keadilan. Piaget berpendapat bahwa moral manusia berkembang melalui dua fase perkembangan yang berlangsung secara bertahap (Hurlock: 1993).
Tahap pertama perkembangan moral disebut dengan heteronomous morality, moral realism, atau morality of constraint. Tahap ini merupakan moralitas yang belum matang secara intelektual, yang dipengaruhi oleh salah satu sisi kasih-sayang orang dewasa yang ada di sekitar anak. Benar-salah perilaku anak didasarkan pada konsekuensi yang diperolehnya, bukan atas dasar motivasi yang ada pada dirinya. Heteronomous morality seorang anak merupakan uangkapan struktur yang secara umum belum matang, masih bersifat egosentris dan statis. Egosentris dalam pengertian bahwa anak masih belum atau kurang memiliki kemampuan untuk membedakan aspek-aspek yang berasal dari dirinya sendiri dan aspek-aspek yang berasal dari situasi sosial, yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk menerima pendapat orang lain dalam situasi sosial. Akibat sifat egosentris ini anak bisa membaurkan aspek subyektif dan obyektif suatu pengalaman.
Hal ini menunjukkan bahwa pandangan anak terhadap kaidahkaidah moral lebih merupakan suatu keberadaan nyata dan tidak bisa diubah daripada sebagai alat yang fleksibel yang dapat dipergunakan untuk mencapai tujuan dan nilai-nilai manusia. Perilaku anak ditentukan oleh ketaatan otomatis terhadap peraturan tanpa penalaran atau penilaian.
Mereka menganggap bahwa orang tua dan orang dewasa yang ada di sekitarnya berwenang sebagai maha kuasa dan mengikuti peraturan yang diberikan padanya tanpa mempertanyakan kebenarannya. Pada tahap kedua perkembangan moral, yang biasa disebut dengan autonomous morality atau morality in cooperation, anak memperoleh kemandirian dalam pembuatan keputusan moral, atau anak memperoleh kemampuan untuk memainkan peran sesuai dengan perkembangan intelektualnya, selain itu juga ketergantungan pada orang dewasa mulai diubah menjadi kesederajatan dalam kerjasama sosial. Moralitas tidak lagi didasarkan pada kaidah-kaidah yang ditentukan oleh orangorang yang memiliki kewenangan yang tidak bisa diubah, tetapi kaidahkaidah itu dipandang sebagai suatu sistem yang menunjukkan hak-hak dan kewajiban yang sama, suatu sistem yang memiliki tujuan membuat fungsi kelompok sosial sebagaimana adanya.
Pada tahap kedua ini perkembangan moral anak bertepatan dengan tahapan operasi formal dari Piaget, artinya dalam perkembangan kognitif, tatkala anak mampu mempertimbangkan semua cara yang mungkin untuk memecahkan masalah tertentu dan dapat bernalar atas dasar hipotesis dan dalil. Hal ini memungkinkan anak untuk melihat persoalannya dalam berbagai sudut dan mempertimbangkan berbagai faktor untuk pemecahannya.
E.     Teori Perkembangan Moral dari Kohlberg
Lawrence Kohlberg adalah salah satu murid dari Jean Piaget, dia menyempurnakan dan mengembangkan teori perkembangan moral yang telah dikemukakan oleh Jean Piaget.
Hasil kajian Kohlberg nampak lebih operasional dibandingkan dengan kajian perkembangan moral yang dikemukakan oleh Piaget, secara sederhana Kohlberg mengemukakan teorinya tentang perkembangan moral menjadi enam tahap yang dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar.
Untuk memahami tahap pekembangan moral tersebut, hendaknya memperhatikan beberapa postulat (asumsi, anggapan dasar) yang melandasinya, yaitu:
1.      Postulat urutan (the sequentiality postulate): bahwa keenam tahap perkembangan moral tersebut merupakan urutan yang terjadi dalam perkembangan individu.
2.      Postulat universalitas (the universality postulate): bahwa urutan keenam tahap perkembangan moral itu bersifat universal, yaitu terjadi pada setiap manusia di semua bangsa dan jenis kelamin.
3.      Postulat struktur utuh (the structure-whole postulate): bahwa tahap-tahap perkembangan moral membentuk struktur yang utuh.
4.      Postulat pengambilan peran (the roel-taking postulate): bahwa tahap-tahap perkembangan moral menunjukkan adanya kemampuan pengambilan peran dan persepektif sosial yang berbeda.
5.      Postulat prasyarat kognitif (the cognitive prerequisites postulate): bahwa tahap-tahap pemikiran perkembangan moral dari Piaget secara operasional merupakan hal yang perlu, tetapi belum cukup untuk mencapai tahap-tahap perkembangan moral yang sesuai dengan perkembangan moral pada umumnya.

























BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN

Cooley (1964) mengusulkan konsep Looking Glass Self (cermin diri) untuk menggambarkan suatu analogi perkembangan diri melalui cermin, di mana cermin memantulkan apa yang ada didepannya, dari sana seseorang melihat dirinya: ganteng, cantik, perkasa, dan ramah. Terdapat tiga unsure dalam Looking Glass Self (cermin diri):
1.      Anda membayangkan bagaimana anda tampak bagi mereka di sekeliling kita. Sebagai contoh, kita dapat berpikir bahwa orang lain menganggap anda sebagai seorang peramah atau pemarah.
2.      Anda menafsirkan reaksi orang lain. Anda menarik kesimpulan bagaimana orang lain mengevaluasi anda. Apakah mereka menyukai anda karena anda seorang peramah?]
3.      Anda mengembangkan suatu konsep-diri (self-concept). Cara anda menginterpretasikan reaksi orang lain terhadap anda memberikan anda perasaan dan ide mengenai diri anda sendiri. Suatu refleksi diri yang menyenangkan dalam cerminn diri social ini mengarah pada suatu konsep diri yang positif; suatu refleksi negative mengarah ke suatu konsep diri negative.