BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Seseorang hanya bisa berkembang dengan bantuan
orang lain. Misalkan seorang orang tua dan keluarganya mengatakan bahwa anak
gadisnya cantik. Kalau hal ini cukup sering diulang-ulang secara konsisten,
oleh orang-orang yang cukup berbeda-beda, akhirnya gadis tersebut akan merasa
dan bertindak seperti seorang yang cantik.
Orangorang cantik sering tampak lebih tenang dan percaya diri daripada orang bermuka buruk, karena mereka dinilai dan diperlakukan berbeda. Namun, seorang gadis cantik sekalipun tidak akan pernah benar-benar yakin bahwa ia cantik kalau dari awal hidupnya orang tua bersikap kecewa dan apologetis (rasa menyesal) terhadap gadis itu dan memperlakukannya sebagai anak yang tidak menarik.
Orangorang cantik sering tampak lebih tenang dan percaya diri daripada orang bermuka buruk, karena mereka dinilai dan diperlakukan berbeda. Namun, seorang gadis cantik sekalipun tidak akan pernah benar-benar yakin bahwa ia cantik kalau dari awal hidupnya orang tua bersikap kecewa dan apologetis (rasa menyesal) terhadap gadis itu dan memperlakukannya sebagai anak yang tidak menarik.
“Diri” yang ditemukan melalui tanggapan orang
lain dinamakan “diri cerminan orang lain” (cermin diri) oleh Cooley (1902,
Horton, 1993), yang dengan hati-hati menganalisis segi penemuan diri ini.
Mungkin saja ia telah mendapat inspirasi dari kata-kata dalam sandiwara Vanity
Fair (Thackeray): “Dunia adalah sebuah cermin dan memberikan kepada setiap
orang bayangan dari mukanya sendiri. Kerutkan dahi di hadapannya, dan bayangan
masam akan tampak di hadapan anda; tertawalah di depan bersamanya dan anda akan
memperoleh sahabat yang baik dan riang”.
Tiga langkah dalam proses pembentukan cermin
diri:
1. Persepsi kita tentang bagaimana kita memandang
orang lain.
2. Persepsi kita tentang penilaian mereka mengenai
bagaimana kita memandang.
3. Perasaan kita tentang penilaian.
Calvin dan Holtzman (1953) menemukan bahwa
setiap individu memiliki kemampuan yang berbeda dalam merasakan secara tepat
pendapat orang lain tentang mereka, dan bahwa orang yang kurang mampu
menyesuaikan dirinya dengan pandangan-pandangannya juga kurang akurat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Teori
Cermin Diri
Teori Cermin Diri (The Looking Glass
Self) ini dikemukakan oleh Charles H. Cooley. Teori ini merupakan gambaran
bahwa seseorang hanya bisa berkembang dengan bantuan orang lain. Setiap orang
menggambarkan diri mereka sendiri dengan cara bagaimana orang - orang lain
memandang mereka, misalnya ada orang tua dan keluarga yang mengatakan bahwa
anak gadisnya cantik. Jika hal itu sering diulang secara konsisten oleh orang -
orang yang berbeda - beda, akhirnya gadis tersebut akan merasa dan bertindak
seperti seorang yang cantik. Teori ini didasarkan pada analogi dengan cara
bercermin dan mengumpamakan gambar yang tampak pada cermin tersebut sebagai
gambaran diri kita yang terlihat orang lain.
Gambaran diri seseorang tidak selalu berkaitan
dengan fakta - fakta objektif, misalnya seorang gadis yang sebenarnya cantik,
tetapi tidak pernah merasa yakin bahwa dia cantik karena mulai dari awal
hidupnya selalu diperlakukan orang tuanya sebagai anak yang tidak menarik.
Jadi, melalui tanggap orang lain, seseorang menentukan apakah dia cantik atau
jelek, hebat atau bodoh, dermawan atau pelit, dan sebagainya.
Ada tiga langkah dalam proses pembentukan
cermin diri, yaitu sebagai berikut.
a. Imajinasi
tentang pandangan orang lain terhadap diri seseorang, seperti bagaimana pakaian
atau tingkah lakunya di mata orang lain.
b. Imajinasi
terhadap penilaian orang lain tentang apa yang terdapat pada diri masing -
masing orang, misalnya pakaian yang dipakai
c. Perasaan
seseorang tentang penilaian - penilaian itu, seperti bangga, kecewa, gembira
atau rendah diri.
B.
Mead
dan Konsep Generalisasi Orang Lain
Proses penghayatan sikap orang lain telah
digambarkan dengan tepat oleh George Herbert Mead (1934) yang telah
mengembangkan konsep generalisasi orang lain.
Generalisasi orang lain ini terdiri dari
harapan-harapan yang diyakini seseorang diharapkan orang lain dari padanya.
Kalau seseorang berkata: “Setiap orang mengharapkan saya untuk…”, seseorang
memakai konsep generalisasi.
Kesadaran akan generalisasi orang lain
berkembang melalui proses pengambilan peran dan permainan peran. Pengambilan
peran (role taking) adalah suatu usaha untuk memainkan perilaku yang diharapkan
dari seorang yang benar-benar memegang peranan yang diambilnya.
Dalam permainan (role playing), anak-anak banyak
pengambilan peran, seperti ketika mereka berpura-pura sebagai suatu keluarga
(kamu jadi mama dan saya akan menjadi papa dan kamu menjadi bayi), sebagai
polisi dan pencuri, bermain dengan boneka.
Permainan peran adalah pemeranan perilaku suatu
peran yang betul-betui dipegang oleh seseorang (misalnya, ketika anak laki-laki
dan perempuan tadi menjadi ayah dan ibu), sedangkan pada pengambilan peran
seseorang hanya berpura-pura memegang peran itu.
Mead melihat adanya tiga proses bertingkat
melalui mana seseorang belajar memainkan peran dewasa; (I) masa persiapan (1-3
tahun), di mana anak-anak meniru perilaku orang dewasa tanpa pengertian yang
nyata (misalnya, seorang gadis kecil memeluk bonekanya, kemudian menggunakannya
untuk memukul saudara lakilakinya); (II) masa bermain (3-4 tahun) ketika anak
sudah memiliki pengertian perilaku tersebut, tetapi mengubah peran secara tidak
teratur. Suatu saat anak laki-laki itu menjadi seorang ahli bangunan, menumpuk
balok-balok satu dengan lainnya, dan sesaat kemudian ia merusaknya, atau pada
suatu ketika ia menjadi polisi dan sesaat kemudian seorang astronot; (III)
tahap permainan, (4 sampai 5 tahun dan di atas 5 tahun) di mana perilaku peran
menjadi menetap dan memiliki tujuan dan anak itu mampu merasakan peran pemain
lain. Untuk bermain sepakbola, setiap pemain harus mengerti perannya sendiri
dan juga peran pemain lain.
C.
Delapan
Tahap Kehidupan Erikson
Eric Erikson mengembangkan suatu teori tentang
sosialisasi siklus kehidupan (life cycle socialization) melalui 8 tahap yang disebut
krisis identitas (identity crisis). Krisis indentitas adalah titik balik dalam
perkembangan ketika seseorang harus masuk ke dalam satu dari dua arah yang
umum.
Tahap pertama bermula
pada masa bayi, ketika bayi belajar baik rasa percaya ataupun rasa tidak
percaya. Kalau ibunya secara konstan mencintai dan memperhatikan kebutuhan
fisiknya, bayi tersebut membentuk perasaan aman dan percaya. Kalau ibu tersebut
tidak memperhatikan, dingin, menolak atau kejam, atau malah inkonsisten, bayi
itu menjadi merasa tidak aman dan tidak percaya pada orang lain. Pada
tahap kedua, masa kanak-kanak awal, “otonomi versus rasa bimbang dan malu”,
anak-anak belajar berjalan, berbicara, mempergunakan tangannya dan melakukan
berbagai hal lain. Mereka mulai membangun otonomi; yakni, mereka mulai memilih
sendiri, mengungkapkan keinginan-keinginannya, membentuk dan mengejar
harapan-harapan.
Kalau didorong dan berhasil, mereka akan
mengembangkan rasa otonominya, merasa diri sebagai orang yang cakap (mampu).
Pada tahap ketiga, seseorang memutuskan konflik Oedipusnya dan
mulai mengembangkan pengertian moralnya. Dalam tahap keempat dunia anak itu
meluas, keterampilan teknis dipelajari, rasa percaya diri diperbesar. Keempat
tahap ini cocok dengan empat tahap perkembangan psikoseksual anak dari Freud,
yakni oral, anal, genital dan laten. Dalam tahap kelima remaja mengembangkan
rasa identitas pribadi melalui interaksi dengan orang lain. Dalam tahap keenam
orang dewasa mengembangkan hubungan kasih yang awet dengan lawan jenisnya.
Dalam usia setengah baya, di tahap ketujuh, seorang mengembangkan sesuatu pada
keluarga dan pada masyarakat. Dalam tahap terakhir, seseorang menghadapi masa
akhir hidup (masa tua) baik secara terhormat ataupun penuh putus asa. Untuk
setiap tahap, ada kebajikan mendasar yang menyertainya, yang berkembang dengan
berlalunya krisis itu dengan berhasil. Bila belajar yang cocok pada suatu tahap
terlewat, tahap tersebut mungkin saja, walaupun sukar, diperoleh pada masa usia
lanjut.
D.
Piaget
dan Perkembangan Belajar
Jean Piaget, seorang ahli biologi yang
memperoleh nama sebagai psikolog anak, karena mempelajari perkembangan
inteligensi. la menghabiskan ribuan jam mengamati anak-anak yang sedang bermain
dan menanyakan mereka tentang perilaku dan perasaannya. la tidak mengembangkan
teori sosialisasi yang komprehensif, tetapi memusatkan perhatian pada bagaimana
anak-anak belajar berbicara, berfikir, bernalar dan akhirnya membentuk
pertimbangani moral.
Piaget yakin bahwa anak-anak berfikir dengan
cara yang berbeda dari orang dewasa dan bahwa manusia direncanakan secara
biologis untuk bergerak maju menuju pemikiran yang rasional dan logis melalui
serangkaian tahap-tahap perkembangan yang dapat diduga. Tahap “perkembangan”
adalah bahwa belajar dari suatu tahap adalah perlu untuk melangkah ke tahap
berikutnya. Sama seperti anak kecil harus belajar berjalan sebelum dapat
belajar berlari, ia harus belajar patuh pada peraturan-peraturan eksternal
sebelum ia dapat mengembangkan pengendalian diri herdasarkan nilai-nilai moral.
Anak kecil itu dapat mempelajari aturan-aturan yang nyata (“cuci tangan sebelum
makan”, “makan dengan tangan kanan”) tetapi tidak dapat menangkap makna di
belakangnya.
Perkembangan belajar yang dikembangkan oleh
Piaget adalah sebagai berikut:
1. Tahap pertama perkembangan moral disebut dengan
heteronomous morality, moral realism, atau morality of constraint. Tahap
ini merupakan moralitas yang belum matang secara intelektual, yang dipengaruhi
oleh salah satu sisi kasih-sayang orang dewasa yang ada di sekitar anak. Heteronomous
morality seorang anak merupakan ungkapan struktur yang secara umum belum
matang, masih bersifat egosentris dan statis.
2. Pada tahap kedua perkembangan moral, yang biasa
disebut dengan autonomous morality atau morality in cooperation, anak
memperoleh kemandirian dalam pembuatan keputusan moral, atau anak memperoleh
kemampuan untuk memainkan peran sesuai dengan perkembangan intelektualnya,
selain itu juga ketergantungan pada orang dewasa mulai diubah menjadi
kesederajatan dalam kerjasama sosial.
Moralitas tidak lagi didasarkan pada
kaidah-kaidah yang ditentukan oleh orang-orang yang memiliki kewenangan yang
tidak bisa diubah, tetapi kaidah-kaidah itu dipandang sebagai suatu sistem yang
menunjukkan hak-hak dan kewajiban yang sama, suatu sistem yang memiliki tujuan
membuat fungsi kelompok sosial sebagaimana adanya. Sumbangan besar Jean Piaget
dalam teori kepribadian, khususnya
dalam perkembangan moral adalah meletakkan dasar
untuk memahami fase-fase perkembangan pemikiran moral anak. Ruang lingkup
kajiannya meliputi: (1) bagaimana anak melihat peraturan dan hukum, (2)
bagaimana anak memutuskan perilaku yang jelek dan dusta, dan (3) bagaimana anak
melihat hukuman dan keadilan. Piaget berpendapat bahwa moral manusia berkembang
melalui dua fase perkembangan yang berlangsung secara bertahap (Hurlock: 1993).
Tahap pertama perkembangan moral disebut dengan
heteronomous morality, moral realism, atau morality of constraint. Tahap ini
merupakan moralitas yang belum matang secara intelektual, yang dipengaruhi oleh
salah satu sisi kasih-sayang orang dewasa yang ada di sekitar anak. Benar-salah
perilaku anak didasarkan pada konsekuensi yang diperolehnya, bukan atas dasar
motivasi yang ada pada dirinya. Heteronomous morality seorang anak merupakan
uangkapan struktur yang secara umum belum matang, masih bersifat egosentris dan
statis. Egosentris dalam pengertian bahwa anak masih belum atau kurang memiliki
kemampuan untuk membedakan aspek-aspek yang berasal dari dirinya sendiri dan
aspek-aspek yang berasal dari situasi sosial, yang mengakibatkan ketidakmampuan
untuk menerima pendapat orang lain dalam situasi sosial. Akibat sifat
egosentris ini anak bisa membaurkan aspek subyektif dan obyektif suatu
pengalaman.
Hal ini menunjukkan bahwa pandangan anak
terhadap kaidahkaidah moral lebih merupakan suatu keberadaan nyata dan tidak
bisa diubah daripada sebagai alat yang fleksibel yang dapat dipergunakan untuk
mencapai tujuan dan nilai-nilai manusia. Perilaku anak ditentukan oleh ketaatan
otomatis terhadap peraturan tanpa penalaran atau penilaian.
Mereka menganggap bahwa orang tua dan orang
dewasa yang ada di sekitarnya berwenang sebagai maha kuasa dan mengikuti
peraturan yang diberikan padanya tanpa mempertanyakan kebenarannya. Pada tahap
kedua perkembangan moral, yang biasa disebut dengan autonomous morality atau
morality in cooperation, anak memperoleh kemandirian dalam pembuatan keputusan
moral, atau anak memperoleh kemampuan untuk memainkan peran sesuai dengan
perkembangan intelektualnya, selain itu juga ketergantungan pada orang dewasa
mulai diubah menjadi kesederajatan dalam kerjasama sosial. Moralitas tidak lagi
didasarkan pada kaidah-kaidah yang ditentukan oleh orangorang yang memiliki
kewenangan yang tidak bisa diubah, tetapi kaidahkaidah itu dipandang sebagai
suatu sistem yang menunjukkan hak-hak dan kewajiban yang sama, suatu sistem
yang memiliki tujuan membuat fungsi kelompok sosial sebagaimana adanya.
Pada tahap kedua ini perkembangan moral anak
bertepatan dengan tahapan operasi formal dari Piaget, artinya dalam
perkembangan kognitif, tatkala anak mampu mempertimbangkan semua cara yang
mungkin untuk memecahkan masalah tertentu dan dapat bernalar atas dasar
hipotesis dan dalil. Hal ini memungkinkan anak untuk melihat persoalannya dalam
berbagai sudut dan mempertimbangkan berbagai faktor untuk pemecahannya.
E.
Teori
Perkembangan Moral dari Kohlberg
Lawrence Kohlberg adalah salah satu murid dari
Jean Piaget, dia menyempurnakan dan mengembangkan teori perkembangan moral yang
telah dikemukakan oleh Jean Piaget.
Hasil kajian Kohlberg nampak lebih operasional
dibandingkan dengan kajian perkembangan moral yang dikemukakan oleh Piaget,
secara sederhana Kohlberg mengemukakan teorinya tentang perkembangan moral
menjadi enam tahap yang dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar.
Untuk memahami tahap pekembangan moral tersebut,
hendaknya memperhatikan beberapa postulat (asumsi, anggapan dasar) yang
melandasinya, yaitu:
1. Postulat urutan (the sequentiality postulate):
bahwa keenam tahap perkembangan moral tersebut merupakan urutan yang terjadi
dalam perkembangan individu.
2. Postulat universalitas (the universality
postulate): bahwa urutan keenam tahap perkembangan moral itu bersifat
universal, yaitu terjadi pada setiap manusia di semua bangsa dan jenis kelamin.
3. Postulat struktur utuh (the structure-whole
postulate): bahwa tahap-tahap perkembangan moral membentuk struktur yang utuh.
4. Postulat pengambilan peran (the roel-taking
postulate): bahwa tahap-tahap perkembangan moral menunjukkan adanya kemampuan
pengambilan peran dan persepektif sosial yang berbeda.
5. Postulat prasyarat kognitif (the cognitive
prerequisites postulate): bahwa tahap-tahap pemikiran perkembangan moral dari
Piaget secara operasional merupakan hal yang perlu, tetapi belum cukup untuk
mencapai tahap-tahap perkembangan moral yang sesuai dengan perkembangan moral
pada umumnya.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Cooley (1964)
mengusulkan konsep Looking Glass Self (cermin diri) untuk menggambarkan suatu
analogi perkembangan diri melalui cermin, di mana cermin memantulkan apa yang
ada didepannya, dari sana seseorang melihat dirinya: ganteng, cantik, perkasa,
dan ramah. Terdapat tiga unsure dalam Looking Glass Self (cermin diri):
1.
Anda
membayangkan bagaimana anda tampak bagi mereka di sekeliling kita. Sebagai contoh,
kita dapat berpikir bahwa orang lain menganggap anda sebagai seorang peramah
atau pemarah.
2.
Anda
menafsirkan reaksi orang lain. Anda menarik kesimpulan bagaimana orang lain
mengevaluasi anda. Apakah mereka menyukai anda karena anda seorang peramah?]
3.
Anda
mengembangkan suatu konsep-diri (self-concept). Cara anda menginterpretasikan
reaksi orang lain terhadap anda memberikan anda perasaan dan ide mengenai diri
anda sendiri. Suatu refleksi diri yang menyenangkan dalam cerminn diri social
ini mengarah pada suatu konsep diri yang positif; suatu refleksi negative
mengarah ke suatu konsep diri negative.