Kamis, 20 Desember 2018


MAKALAH ONGGOK

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Pengembangan di bidang peternakan dihadapkan pada masalah kebutuhan pakan, yang mana ketersedian pakan khususnya untuk unggas harganya dipasaran sering berfluktuasi. Biaya pakan dalam usaha peternakan mencapai 60-70% dari seluruh biaya produksi. Untuk menyiasati hal ini, harus dicarikan upaya alternatif terhadap jenis bahan pakan lain, yang mana dapat digunakan sebagai pakan ternak pengganti yang harganya murah, tidak bersaing dengan kebutuhan manusia, mudah didapat dan berkualitas baik. Pemanfaatan limbah organik hasil pertanian bisa dijadikan sebagai salah satu solusi yang tepat dalam permasalahan ini. Limbah pertanian yang dapat dimanfaatkan sebagi bahan baku pakan ternak salah satunya adalah onggok.
            Onggok merupakan limbah padat agro industri berupa ampas dari pengolahan ubi kayu menjadi tapioka yang diperoleh dari proses pemerasan dan penyaringan. Ketersediaan onggok terus meningkat sejalan dengan meningkatnya produksi tapioka. Onggok ini merupakan sisa limbah industri tepung tapioka yang akan membusuk jika tidak termanfaatkan, sehingga mengakibatkan pencemaran lingkungan hidup. Dengan menjadikan onggok sebagai pakan alternatif bagi kebutuhan konsumsi unggas, akan memilki dampak baik untuk mengurangi masalah polutan yang akan disebabkan oleh onggok tersebut.
            Semua onggok dari industri tepung tapioka dimanfaatkan untuk makanan ternak karena terdapat kandungan protein yang cukup besar dan nutrisi lainnya yang dibutuhkan untuk pertumbuhan hewan ternak. Di sisi lain, onggok dapat digunakan untuk produksi etanol. Meskipun merupakan limbah tetapi kandungan karbohidrat onggok masih tinggi yaitu mencapai 63%-68%, sementara kadar airnya 20%.










BAB II
TINJAPEMBAHASAN
A.    Gambaran Umum Onggok
            Onggok adalah limbah padat berupa ampas dari pengolahan ubikayu menjadi tapioka, apabila didiamkan dalam beberapa hari akan menimbulkan bau asam dan busuk serta bersifat mencemari lingkungan. Sebagai negara tropis, Indonesia kaya dengan tanaman ubikayu sebagai sumber pati. Produksi ubikayu Indonesia menempati urutan ke 4 terbesar setelah Nigeria, Brazil dan Thailand. Produksi ubi kayu Indonesia pada tahun 2002 mencapai 16,9 juta ton dengan luas area 1,27 juta ha. Sebagian besar produksi ubikayu diserap industri tapioka, sehingga setiap tahun dihasilkan lebih dari 1,2 juta ton onggok (Mulyono, dkk., 2011).
            Onggok adalah hasil samping pengolahan singkong menjadi tapioka yang berupa limbah padat utama setelah proses pengepresan. Limbah padat industri tapioka berasal dari proses pengupasan yaitu berupa kulit ubi kayu dan dari proses pengepresan berupa ampas ubi kayu. Limbah padat dari industri tapioka yaitu kulit yang berasal dari pengupasan ubi kayu, sisa-sisa potongan ubi kayu yang tidak terparut berasal dari proses pemarutan, ampas onggok merupakan sisa dari proses ekstraksi pati, terdiri atas sisa-sisa pati dan serat-serat (Antika, 2013).
            Onggok selama ini dikenal sebagai limbah dari industri tepung tapioka yang memiliki jumlah energi tinggi nilai ekonomis yang cukup rendah. Banyak onggok yang dihasilkan dari proses pembuatan tapioka berkisar 5-10% bahan baku dengan kadar air 20% (Sukma, 2009).
            Onggok singkong adalah limbah berupa ampas dari pembuatana tepung tapioka. Proses pembuatan tepung tapioka antara lain melalui tahapan : pengupasan, pemarutan, penyaringan dan pengendapan. Selanjutnya pengeringan pati dan pengeringan onggok singkong (Nikmawati, 1999).
Pemanfaatan 
            Penggunaan onggok fermentasi sampai dengan 10% dalam formulasi pakan ayam pedaging masih aman dan tidak menimbulkan dampak negatif. Onggok aman untuk dikonsumsi oleh ayam. onggok terfermentasi sampai dengan 10% dapat digunakan dalam formulasi pakan ayam pedaging. Dan terhadap persentase bobot karkas, bobot hati dan rempela (Tarmudji, 2004).
            Teknologi fermentasi padat, menggunakan Aspergillus niger sebagai inokulum dan urea/ZA sebagai sumber nitrogen, kandungan protein sejati dari berbagai limbah pertanian, seperti ampas sagu/onggok, dapat ditingkatkan menjadi 18%, dan evaluasinya sebagai bahan baku pakan telah teruji untuk ayam dan itik (Supriyati, dkk., 2013).
            Menurut Mariyono et al., (2008) dalam Antari, dkk., (2009) Peningkatan produksi menyebabkan limbah pengolahan ubi kayu dan agroindustrinya juga meningkat sehingga cukup potensial digunakan sebagai pakan; tidak hanya untuk unggas dan ruminansia kecil tetapi juga ruminansia besar. Bahan pakan yang berasal dari limbah pascapanen tanaman ubi kayu antara lain pucuk ubi kayu, batang ubi kayu, kulit ubi kayu, bonggol ubi kayu, gaplek afkir, singkong afkir, dan gamblong atau onggok tergolong sebagai pakan sumber karbohidrat mudah dicerna.
            Hampir semua onggok dari industri tepung tapioka dimanfaatkan untuk makanan ternak karena terdapat kandungan protein yang cukup besar dan nutrisi lainnya yang dibutuhkan untuk pertumbuhan hewan ternak. Di sisi lain, onggok dapat digunakan untuk produksi etanol. Meskipun merupakan limbah tetapi kandungan karbohidrat onggok masih tinggi yaitu mencapai 63%-68%, sementara kadar airnya 20% (Wijayanti, 2012).
Perbedaan Tepung Tapioka dan Tepung Onggok

Tepung Tapioka
            Tepung tapioka juga sering disebut tepung aci atau tepung kanji. Tepung tapioka pada umumnya dibagi menjadi dua, yaitu tapioka halus dan tapioka kasar. Pembuatan tepung tapioka halus biasanya dari tapioka kasar yang mengalami penggilingan kembali. Pabrik tepung tapioka kasar sebagai bahan mentah yang dibeli dari pedagang-pedagang kecil dari desa-desa.Pembuatan tepung tapioka kasar dilakukan dengan memarut singkong yang telah dikupas dan dicuci. Dengan air yang mengalir, parutan singkong diperas melalui saringan. Filtrat ditampung dan pemerasan diakhiri bila filtrat yang ke luar sudah jernihdan larutan dibiarkan mengendap. Endapan dicuci dengan air dan air pencuci dibuang sampai bersih (Koswara, 2009). Tepung tapioka dibuat dengan mengekstrak bagian umbi singkong dengan tahap dapat dilihat dalam Gambar 1 berikut.

            Menurut Rahman (2007) dalam Amin (2013), Tapioka merupakan pati yang diekstrak dari singkong. Dalam memperoleh pati dari singkong (tepung tapioka) harus dipertimbangkan usia atau kematangan dari tanaman singkong.



Tepung Onggok
            Onggok (ampas) singkong merupakan limbah padat dari pembuatan tepung tapioka. Komposisi onggok tepung tapioka sangat bervariasi bergantung pada jenis/varietas singkong, daerah asal serta cara pengolahan tepung tapioka (Marto, 2013). Onggok adalah limbah padat berupa ampas dari pengolahan ubikayu menjadi tapioka (Mulyono, dkk., 2011).
            Onggok adalah hasil samping pengolahan singkong menjadi tapioka yang berupa limbah padat utama setelah proses pengepresan. Limbah padat industri tapioka berasal dari proses pengupasan yaitu berupa kulit ubi kayu dan dari proses pengepresan berupa ampas ubi kayu (Antika, 2013).

B.     Potensi Onggok Sebagai Pakan Ternak
Onggok adalah hasil produk samping pengolahan ubi kayu menjadi tapioka. Dari setiap ton ubi kayu bisa  menghasilkan 114 kg onggok. Jika  setengah dari produksi ubi kayu tahun 2000 yang mencapai 15.351.200 ton diolahdan diproses menjadi tepung tapioka, onggok yg dihasilkan bisa mencapai 828.965 ton. Jumlah tersebut sanagat besar untuk dimanfaatkan dan digunakan sebagai bahan baku pakan ternak.
Onggok memiliki kandungan air cukup tinggi (81-85%), dan bisa menjadi sumber pencemaran atau polusi udar atau lingkungan, terutama di wilayah produksi apabila tidak ditangani dengan baik. Onggok sebenarnya memiliki potensi sangat besar sebagai bahan pakan. Tetapi mutu dan nutrisinya yg rendah (protein kasar(PK) sekitar 1,55% dan serat kasar (SK) 10,44% bahan kering), menjadi pembatas utama pemanfaatan onggok sebagai bahan pakan ternak, baik untuk ternak monogastrik seperti ayam dan bebek,  maupun ternak ruminansia. Seperti sapi, kambing, dan domba. Untuk bisa digunakan sebagai bahan pakan ternak, maka mutu dan kualitas onggok perlu ditingkatkan dengan proses teknologi fermentasi.

C.    Pemanfaatan Onggok sebagai pakan ternak Sapi Perah
Ransum sapi perah rakyat umumnya terdiri atas jerami atau rumput gajah, ampas tahu, dan pakan konsentrat masing-masing sebanyak 20 kg, 5 kg, dan 5 kg. Substitusi atau penggantian setiap kilogram konsentrat dengan onggok yang telah difermentasi dalam jumlah yang sama bisa meningkatkan rataan hasil produksi susu harian dari 10,56 liter menjadi 14,47 liter, kadar lemak air susu dari 3,90% menjadi 4,90%, serta total padatan dari 11,11% menjadi 12,14%.


D.    Pemanfaatan Onggok Sebagai Pakan Ternak Ayam
Ayam kampung petelur yang dipelihara secara kelompok maupun individu dan diberikan ransum onggok terfermentasi 10%, meningkat produksinya masing-masing 9,7% dan 30,9%. Bobot telur juga meningkat pada ayam yang memperoleh ransum onggok terfermentasi.

E.     Proses pembuatan
Proses pembuatan onggok dilakukan dengan cara fermentasi dengan menggunakan Aspergillus niger (semacam kapang atau jamur). Ada juga campuran urea dan amonium sulfat sebagai sumber nitrogen anorganik. Ini akan membuat onggok memiliki kandungan energi lebih tinggi sebagai pakan. Proses fermentasi akan membutuhkan waktu sekitar 5-7 hari. Sebelum onggok difermentasikan, terlebih dahulu dijemur di bawah terik matahari.
Untuk fermentasinya, onggok yang telah kering dicampur dengan mineral dan diaduk rata tambahkan campuran air hangat 5-8 liter dan biarkan beberapa menit. Ini untuk menambah unsur mineral dalam onggok. Setelah onggok sudah dingin barulah dicampur Aspergillus niger. Campuran kapang inilah yang membuat onggok memiliki protein tinggi. Setelah didiamkan selama 5-7 hari, onggok diremas-remas dan dikeringkan, baru setelah itu siap dikemas dan dijual ke pabrik pakan ternak.

Pengeringan adalah bagian penting sebelum dilakukan fermentasi pada onggok. Itu sebabnya, proses pengeringan onggok harus betul-betul sempurna dan dilakukan di bawah terik matahari. Pengeringan yang dilakukan di bawah terik matahari akan membuat onggok yang basah berubah bentuk seperti pasir kasar dan berwarna putih, sedangkan onggok yang setengah kering atau masih basah akan berbentuk seperti batu kerikil dengan warna coklat dan hitam.

Memasuki musim hujan, proses pengeringan dengan bantuan oven akan membuat hasil onggok tidak bagus. Inilah yang membuat kualitas onggok berbeda. Makin putih dan kering, harga jual onggok akan makin mahal. Sebagai patokan harga onggok tergantung dari kualitas onggok yang dibedakan para penjualnya berdasarkan warna dan tingkat kekeringan onggok itu sendiri.

F.     Fementasi Onggok Sebagai Pakan Ternak
Salah satu poses yang sedang dirintis Balai Penelitian Ternak untuk meningkatkan mutu dan nilai gizi dari onggok yaitu dengan teknologi fermentasi atau biofermentasi. Proses fermentasi ini bisai dilakukan dengan memakai spora Aspergillus niger (koleksi Balitnak). Proses ini dmulai dengan pembiakan spora pada media potatos dextrose agar (PDA), yang kemudian produksi spora dilakukan secara massal dengan menggunakan media beras yang telah dikukus selama 5(lima) hari pada suhu ruang. Spora yang terbentuk dipanen, dikeringkan pada suhu 45oC dan digiling, untuk selanjutnya siap digunakan.
Setiap 1 kg onggok ditambahkan campuran mineral yang tersusun dari 40 g urea, 5 g MgSO4, 72 g ZA [(NH4)2SO4], 1,5 g KCl, 15 g NaH2PO4 dan 0,75 g FeSO4. Onggok yang telah diberi campuran mineral tersebut selanjutnya diberi serbuk spora satu sendok makan (6-8 g), dan ditambahkan air panas untuk memperoleh kadar akhir adonan 60%. Selanjutnya adonan ditempatkan pada wadah/ baki plastik. Fermentasi dilakukan selama 3-5 hari.
Proses fermentasi yg berhasil ditandai dengan munculnya warna keabuan dan kompak pada permukaan adonan. Apabila ditemukan warna miselium yang kehitam-hitaman, berarti proses fermentasi berlangsung tidak sempurna atau telah terjadi kontaminasi. Onggok yang terfermentasi sempurna kemudian dipanen, dikeringkan, dan digiling untuk selanjutnya digunakan sebagai salah satu bahan baku ransum.
No
Parameter
Tanpa Fermentasi (%)
Setelah Fermentasi(%)
1
Protein Kasar(PK)
2,2
18,6
2
Serat Kasar (SK)
10,8
10,45
3
Abu
2,4
2,6
4
Karbohidrat
51,8
36,2
Fermentasi onggok sudah pula dilakukan dalam skala lapang oleh petani-ternak dengan bimbingan staf Balitnak. Dengan kemauan, ketekunan, dan bimbingan keterampilan, ternyata kualitas hasilnya tidak berbeda dengan yang diperolehdi laboratorium. Onggok yang sudah difermentasi mempunyai inilai gizi yang lebih baik dibanding yang tidak difermentasi. Nilai kandungan protein kasar (PK) akan  meningkat dari 2% menjadi 18% bahan kering, atau  peningkatan nilai nutrisi cukup tinggi yaitu  meningkat 900%. Sementara kandungan serat kasar (SK) onggok yang difermentasi cenderung menurun.


BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
1.      Onggok adalah hasil samping pengolahan singkong menjadi tapioka yang berupa limbah padat utama setelah proses pengepresan. Limbah padat industri tapioka berasal dari proses pengupasan yaitu berupa kulit ubi kayu dan dari proses pengepresan berupa ampas ubi kayu. 
2.      Kandungan pada onggok antara lain :
protein kasar                     : 2,89%
serat kasar                        : 14,73%
abu                                   : 1,21% 
beta-N                              : 80,80%
lemak kasar                      : 0,38% 
air                                     : 20,31%

Kamis, 01 November 2018

MAKALAH BUDUDIYA IKAN GABUS


BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ikan gabus adalah sejenis ikan predator yang hidup di air tawar. Ikan gabus mempunyai nama ilmiah Channa striata.Ikan gabus atau betutu adalah salah satu ikan asli yang hidup di perairan tawar di Indonesia, seperti daerah aliran sungai di Sumatera, Kalimantan dan Jawa. Di Sumatera Selatan nilai ekonominya terus meningkat karena ikan gabus selain dimanfaatkan dalam bentuk ikan segar juga telah digunakan sebagai bahan pembuatan kerupuk, pempek dan olahan lainnya.
Ikan gabus merupakan golongan ikan yang mempunyai alat pernafasan tambahan sehingga dapat tumbuh di air tergenang yang minim oksigen dan tidak perlu dilakukan pergantian air, oleh karena itu jenis ikan ini sangat mudah di budidayakan. Ikan gabus mengandung protein 70% , albumin 21% , asam amino, mikronutrien serta selenium dan iron yang sangat penting untuk kesehatan sehingga dapat digunakan sebagai obat.
Albumin ikan gabus dan kandungan lainnya penting untuk pembentukan sel-sel baru dan mengganti sel-sel yang rusak di tubuh. Beberapa kasus pasien kanker, gagal ginjal, stroke, tuberkolusis, dan diabetes yang telah menjalani terapi nutrisi dengan albumin ikan gabus memberikan kondisi memuaskan. Dalam sebuah situs web menjelaskan ada seorang yang sakit kanker kandung kemih namanya Amir H–nama samaran–di Bandung Jawa Barat. Amir yang sejak 3 tahun lalu divonis menderita kanker kandung kemih mesti menjalani kemoterapi sebagai salah satu pencegahan agar sel-sel tumor di tubuhnya tidak berkembang. Pada kasus kemoterapi, efek samping yang ditimbulkan umumnya: rambut rontok dan mudah lemas. Amir H yang selalu rutin mengonsumsi 6 kapsul per hari  albumin ikan gabus  memperlihatkan kondisi menggembirakan.
B.     Tujuan
·         mengetahui informasi tentang ikan gabus
·         mengetahui budidaya ikan gabus






BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.    Ikan Gabus
Berdasarkan hasil penelitian dari Anonim, 2012 ikan gabus ini dapat diklasifikasi dan morfologi berdasarkan taksonomi diantarnya yaitu :
Klasifikasi ikan gabus
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Actionopterygii
Ordo : Percformes
Famili : Channidae
Genus : Ophiocephalus
Spesies : Ophiocephalus striatus ( Channa striata )
Ada dua spesies ikan gabus yang dapat di temukan yaitu :
Channa micropeltes
Channa pleuropthalmus
Screenshot_1.jpg
B.     Morfologi ikan gabus
Ikan gabus pada umumnya memiliki bentuk tubuh bulat memanjang dengan panjang mencapai ½ – 1 meter bahkan lebih, ikan ini memiliki berat rata – rata 2-5 kg. Bagian kepala berbentuk gepeng dan agak pipih yang hampir menyerupai kepala ular ( Head snake ). Memiliki sisik yang besar dan kasar di bagian kepala, perut, punggung, dan bagian ekornya.
Bagian sirip punggung memanjang dan juga sirip ekor bebentuk bulat pada bagian ujungnya, bagian sisi atas tubuh hingga bagian ekor memiliki warna kegal, kehitaman maupun kehijauan, sedangkan warna bagian perut berwarna krim atau putih. Bagian sisi samping terdapat garis maupun coret tebar ( striata ), warna ini biasanya tergantung dengan habitat dan lingkungannya.
C.    Kebiasaan
Ikan gabus biasa didapati di danau, rawa, sungai, dan saluran-saluran air hingga ke sawah-sawah. Ikan ini memangsa aneka ikan kecil-kecil, serangga, dan berbagai hewan air lain termasuk berudu dan kodok. Seringkali ikan gabus terbawa banjir ke parit-parit di sekitar rumah, atau memasuki kolam-kolam pemeliharaan ikan dan menjadi hama yang memangsa ikan-ikan peliharaan di sana. Jika sawah, kolam atau parit mengering, ikan ini akan berupaya pindah ke tempat lain, atau bila terpaksa, akan mengubur diri di dalam lumpur hingga tempat itu kembali berair. Oleh sebab itu ikan ini acap kali ditemui ‘berjalan’ di daratan, khususnya di malam hari di musim kemarau, mencari tempat lain yang masih berair. Fenomena ini adalah karena gabus memiliki kemampuan bernapas langsung dari udara, dengan menggunakan semacam organ labirin (seperti pada ikan lele atau betok) namun lebih primitif. Pada musim kawin, ikan jantan dan betina bekerjasama menyiapkan sarang di antara tumbuhan dekat tepi air. Anak-anak ikan berwarna jingga merah bergaris hitam, berenang dalam kelompok yang bergerak bersama-sama kian kemari untuk mencari makanan. Kelompok muda ini dijagai oleh induknya.
D.    Penyebaran
Ikan gabus menyebar luas mulai dari Pakistan di barat, Nepal bagian selatan, kebanyakan wilayah di India, Bangladesh, Sri Lanka, Tiongkok bagian selatan, dan sebagian besar wilayah di Asia Tenggara termasuk Indonesia.
E.     Keragaman Jenis
Gabus dan kerabatnya termasuk hewan Dunia Lama, yakni dari Asia (genus Channa) dan Afrika (genus Parachanna). Seluruhnya kurang lebih terdapat 30 spesies dari kedua genus tersebut. Di Indonesia terdapat beberapa spesies Channa; yang secara alami semuanya menyebar di sebelah barat Garis Wallace. Namun kini gabus sudah diintroduksikan ke bagian timur pula. Salah satu kerabat dekat gabus adalah ikan toman (Channa micropeltes), yang panjang tubuhnya dapat melebihi 1 m dan beratnya lebih dari 5 kg.
F.     Teknik Budidaya Ikan Gabus
1.      Perbedaan Ikan Gabus  Jantan Dan Betina
Jantan dan betina ikan gabus bisa dibedakan dengan mudah. Caranya dengan melihat tanda-tanda pada tubuh. Jantan ditandai dengan kepala lonjong, warna tubuh lebih gelap, lubang kelamin memerah dan apabila diurut keluar cairan putih bening. Betina ditandai dengan kepala membulat, warna tubuh lebih terang, perut membesar dan lembek, bila diurut keluar telur. Induk jantan dan harus sudah mencapai 1 kg.
2.      Pemijahan Ikan Gabus
Pemijahan dilakukan dalam bak beton atau fibreglass. Caranya, siapkan sebuah bak beton ukuran panjang 5 m, lebar 3 m dan tinggi 1 m; keringkan selama 3 – 4 hari; masukan air setinggi 50 cm dan biarkan mengalir selama pemijahan; sebagai perangsang pemijahan, masukan eceng gondok hingga menutupi sebagian permukaan bak; masukan masukan 30 ekor induk betina; masukan pula 30 ekor induk jantan; biarkan memijah; ambil telur dengan sekupnet halus; telur siap untuk ditetaskan. Untuk mengetahui terjadinya pemijahan dilakukan pengontrolan setiap hari. Telur bersifat mengapung di permukaan air. Satu ekor induk betina bisa menghasilkan telur sebanyak 10.000 – 11.000 butir.
3.      Penetasan
Penetasan telur dilakukan di akuarium. Caranya : siapkan sebuah akuarium ukuran panjang 60 cm, lebar 40 cm dan tinggi 40 cm; keringkan selama 2 hari; isi air bersih setinggi 40 cm; pasang dua buah titik aerasi dan hidupkan selama penetasan; pasang pula pemanas air hingga bersuhu 28 O C; masukan telur dengan kepadatan 4 – 6 butir/cm2; biarkan menetas. Telur akan menetas dalam waktu 24 jam. Sampai dua hari, larva tidak perlu diberi pakan, karena masih menyimpan makanan cadangan.
4.      Pemeliharaan Larva Ikan Gabus
Pemeliharaan larva dilakukan setelah 2 hari menetas hingga berumur 15 hari, dalam akuarium yang sama dengan kepadatan 5 ekor/liter. Kelebihan larva bisa dipelihara dalam akuarium lain. Pada umur 2 hari, larva diberi pakan berupa naupli artemia dengan frekwensi 3 kali sehari. Dari umur 5 hari, larva diberi pakan tambahan berupa daphnia 3 kali sehari, secukupnya. Untuk menjaga kualitas air, dilakukan penyiponan, dengan membuang kotoran dan sisa pakan dan mengganti dengan air baru sebanyak 50 persen. Penyiponan dilakukan 3 hari sekali, tergantung kualitas air.
5.      Pendederan Ikan Gabus
Pendederan ikan gabus dilakukan di kolam tanah. Caranya : siapkan kolam ukuran 200 m2; keringkan selama 4 – 5 hari; perbaiki seluruh bagiannya; buatkan parit keliling dengan lebar 40 cm dan tinggi 10 cm; ratakan tanah dasarnya; tebarkan 5 – 7 karung kotoran ayam / kotoran ternak; isi air setinggi 40 cm dan rendam selama 5 hari (air tidak dialirkan); tebar 4.000 ekor larva pada pagi hari; setelah 2 hari, beri 1 – 2 kg tepung pelet atau pelet yang telah direndam untuk setiap hari; panen benih dilakukan setelah berumur 3 minggu.
6.      Pembesaran Ikan Gabus di Kolam
Pemeliharaan ikan gabus untuk dibesarkan di kolam dengan cara sebagai berikut :
Siapkan kolam dengan ukuran tergantung keadaan lahan yang tersedia, biasanya ukuran antara 2.500 M2– 5.000 M2; keringkan selama 4 – 5 hari; perbaiki seluruh bagiannya; buatkan parit keliling dengan lebar 2 M dan tinggi 40 cm; ratakan tanah dasarnya; tebarkan 500 – 1.000 kg kotoran ayam / kotoran ternak; isi air setinggi 75 cm – 100 cm dan rendam selama 5 hari (air tidak dialirkan); tebar benih berumur 3 minggu sebanyak 5 ekor/M2  pada pagi hari; setelah itu beri pakan tambahan dengan dosis 3 – 5 % dari berat badan per hari; panen dapat dilakukan setelah ikan gabus berumur 3 – 4 bulan (ukuran konsumsi).
a.       Pemijahan Ikan Gabus di Kolam
·         Konstruksi kolam
Luas kolam pemijahan bervariasi antara 200 M2, tergantung ketersediaan lahan. Kolam berbentuk persegi panjang dengan letak pintu pemasukan dan pembuangan berseberangan secara diagonal. Tujuannya agar kolam bisa memperoleh air dari saluran langsung dan pembuangannya pun bisa lancar. Debit air kolam minimal 25 liter/menit. Pergantian air yang kotinyu akan berpengaruh positif terhadap proses pemijahan.
Bila lahannya sempit, bisa dibuatkan bak semen berukuran 2 mX 1 m x 1 m untuk pemijahan induk betutu secara berpasangan. Namun, bila mau memijahkan beberapa pasang di lahan terbatas bisa dibuat kolam tembok berukuran 4 m X 2 M X I M.
·         Persiapan kolam
b.      Untuk kolam pemijahan seluas 200 m2, disiapkan induk yang rata-rata berukuran 300 g sebanyak 35-40 pasang. Sementara untuk kolam kecil, dengan luas 8 m2, dapat dimasukkan induk sebanyak 3-4 pasang. Sebelum induk dimasukkan, kolam pemijahan dilengkapi dengan sarang pemijahan berupa segitiga yang dibuat dari asbes. Ukuran panjang segitigiga 30 cm yang diikat dengan kawat dan diberi pelampung untuk mengetahui keberadaannya..Induk dimasukkan ke dalam kolam pemijahan setelah kolam terisi air setinggi 40-45 cm. Selama proses pemijahan, sebaiknya kolam memperoleh pergantian air secara terus-menerus. Proses pergantian air secara terus menerus ini terbukti mampu merangsang pemijahan hampir semua jenis ikan secara alami.
7.        Pemijahan Ikan Gabus
-          Memilih Induk
Induk ikan gabus umumnya dikumpulkan dari alam sebab perlu waktu yang lama dan pakan yang sangat banyak untuk menghasilkan induk di kolam.
Ciri Induk  Ikan Gabus yang Berkualitas:
Betina : Badannya berwana lebih gelap.Bercak hitam lebih banyak. Papila urogenital berbentuk tonjolan memanjang yang lebih besar. membundar, warnanya memerah saat menjelang memijah. Ukurannya lebih kecil dibandingkan yang jantan pada umur yang sama.Berbadan sehat.Dewasa.
Jantan : Badannya berwana lebih terang.Bercak hitam lebih sedikit. Papila orogenital berbentuk segitiga, pipih, dan kecil.Pada umur yang sama ukurannya lebih besar daripada betina.Berbadan sehat.Dewasa.
8.      Penetasan Telur dan Perawatan Benih
Telur ikan betutu berbentuk lonjong, transparan. Ukurannya sangat kecil, kira-kira hanya bergaris tengah 0,83 mm. Telur tersebut melekat pada dinding sarang. Setelah kontak dengan air selama 10-15 menit, membran vitelinya akan mengembang terns dan panjang telur meningkat sekitar 50 % hingga telur berukuran 1,3 mm.
Penetasan telur dilakukan di akuarium dengan mengangkat sarang pemijahan yang telah berisi telur. Sebuah sarang pemijahan bisa ditempati oleh sepasang induk, tetapi bisa juga ditempati beberapa ekor induk. Kapasitas akuarium sebaiknya minimal 60 liter. Untuk menjamin proses penetasan, diberi aerasi agak kuat, dan ditetesi beberapa tetes
Malachytgreen atau Metilen blue untuk mencegah jamur (fungi). Telur yang terserang jamur akan tampak putih berbulu dan sebaiknya segera disifon agar tidak menulari telur yang lain. Jumlah telur dalam setiap sarang berkisar 20.000- 30.000 butir. Telur tidak menetas dalam waktu yang bersamaan. Biasanya, penetasan berlangsung 2-4 hari. Setelah telur menetas, kekuatan aerator dikurangi. Adapun persentase telur yang menetas antara 80—90%
9.      Pendederan
Pendederan dimaksudkan untuk memelihara larva yang baru menetas dan sudah habis kuning telurnya (yolk sack) ke dalam kolam untuk memperoleh ikan yang seukuran sejari (fingerling). Pendederan biasanya dibagi menjadi 2 bagian, yaitu pendederan I dan pendederan II. Pendederan I dilakukan di dalam bak atau kolam yang lebih kecil, berukuran 5 m x 2 m dengan kedalaman 1 m. Kolam ini dipasangi hapa dengan ukuran mata 500 mikron (0,5 mm) yang berukuran 100 cm x 75 cm dan tinggi 60 cm.
Banyaknya hapa yang dipasang tergantung benih yang akan ditebar. Kepadatan penebaran di dalam hapa pada pendederan I yaitu 30.000 ekor /m2 atau 3o ekor/liter air. Jadi, ke dalam bak tersebut dapat ditampung sebanyak 100.000-150.000 ekor larva, hasil dari 3-5 buah sarang, dengan kedalaman air 50 cm. Lama pemeliharaan di dalam pendederan I ini yaitu 2 bulan. Dengan pakan yang disuplai dari luar, akan dihasilkan benih seukuran 1-2 cm dengan tingkat hidup mencapai 20%.
Untuk pendederan II, dibutuhkan kolam yang luasnya 50 m2 dengan ukuran 5 m x 10 m dan kedalaman kolam 0,7 meter. Kolam dipupuk dengan kotoran ayam sebanyak 0,5-1,5 kg /m2, tergantung dari kesuburan kolam. Lama pemeliharaan di pendederan II yaitu 4 bulan dan akan dihasilkan benih ikan berukuran 10 cm (30-50 g) dengan tingkat kehidupan bisa mencapai 100%.
10.  Pembesaran
Pembesaran dimaksudkan untuk menghasilkan betutu berukuran konsumsi. Kolam yang dibutuhkan seluas 200-600 m2. Usahakan  kolam memperoleh air baru dengan konstruksi pematang kolam dari tanah dengan terlebih dahulu dipastikan tidak bocor. Idealnya, kolam dengan pematang yang ditembok. Di dalam kolam ditempatkan beberapa tempat persembunyian berupa ban bekas atau daun kelapa karena ikan gabus menghendaki lingkungan yang agak remang-remang. Terlebih dahulu kolam dipupuk dengan kotoran ayam dengan dosis 0.5-1.5 kg/m2. Kolam diairi dengan air yang sudah lewat saringan. Untuk benih berukuran 100 g dapat ditebarkan 20 ekor/m2, sedangkan yang berukuran 175 g dapat ditebarkan sebanyak 8 ekor/m2. Dalam tempo 5 bulan, benih yang beratnya 100 g dapat tumbuh menjadi 250 g/ekor, sedangkan yang berukuran 175 g dapat mencapai berat 400 g/ekor selama 6 bulan.





BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pembesaran dimaksudkan untuk menghasilkan betutu berukuran konsumsi. Kolam yang dibutuhkan seluas 200-600 m2. Usahakan  kolam memperoleh air baru dengan konstruksi pematang kolam dari tanah dengan terlebih dahulu dipastikan tidak bocor. Idealnya, kolam dengan 



MAKALAH TEKNIK BUDIDAYA IKAN LEL


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang luas dan kaya akan keanekaragaman hayati, misalnya ikan lele (Clarias Batrachus). Budidaya ikan lele sudah banyak dilakukan oleh masyarakat, terutama dengan semakin maraknya Usaha Warung Pecel Lele di Daearh sekitar Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek). Ikan lele sudah sejak lama menjadi salah satu komoditas perikanan yang sangat populer di kalangan masyarakat.
Sebelum tahun 1990-an, menurut masyarakat, ikan lele merupakan binatang yang mengelikan dengan bentuk seperti sular dan hidup di tempat yang kotor. Tetapi saat ini pamor ikan lele menjadi naik. Kepopuleran ikan lele tidak hanya di dalam negeri saja. Menurut warta Pasar Ikan (2006) bahwa di Melbourne, Australia masyarakatIndonesia mulai memperkenalkan komoditar teresbut pada masyarakat tersebut.

B.     Tujuan
a.       Sebagai bahan makanan
b.      Ikan lele jenis C. Batrachus juga bisa dimanfaatkan sebagai ikanpajangan atau hiasan.
c.       Ikan lele yang di pelihara di sawah dapat bermanfaat untuk memberantas hama padi berupa serangga air. Karena merupakansalah satu makanan alami ikan lele.
d.      Ikan lele juga dapat diramu dengan berbagai macam obat lain untuk mengobati penyakit asma, menstruasi (datang bulan tidak teratur),hidung berdarah, kencing berdarah, dll.
e.       Selain itu, banyak mengkonsumsi ikan lele juga dapat menyehatkan jantung. Karena ikan lele lebih banyak mengandung omega 3 dibanding dengan jenis ikan lainnya.









BAB II
PEMBAHASAN

A.    Dasar Teori
Lele merupakan salah satu komoditas unggulan. Pengembangan usahanya dapat dilakukan mulai dari benih sampai ukuran konsumsi. Setiap segmen usaha ini sangat menguntungkan. Selain untuk konsumsi lokal, pasar lele telah mulai di ekspor dan permintaannya cukup besar.
Tingkat kenaikan produksi lele konsumsi secara Nasional kenaikannya sebesar 18,3 % per tahun. Pada tahun 1999 produksi lele sebesar 24.991 ton Pada tahun 2003 produksi lele sebesar 57.740 ton.
Revalitas lele sampai dengan akhir tahun 2009 diperkirakan mencapai produksi 175.000 ton atau meningkat rata-rata 21,64 % pertahun.
Tingkat kebutuhan benih lele juga meningkat pesat. Pada tahun 1999 dibutuhkan 156 juta ekor, pada tahun 2003 dibutuhkan 360 juta ekor, sedangkan pada akhir tahun 2009 diperkirakan akan dibutuhkan 1,9 milyar ekor atau meningkat 46 % per tahun. 

B.     Jenis-jenis Lele yang Dibudidayakan
Jenis lele yang banyak dibudidayakan di Indonesia dan dijumpai di pasaran saat ini adalah ikan lele dumbo (Clarias Gariepinus). Dalam kegiatan budidaya secara intensif, ikan lele didorong untuk tumbuh secara maksimum hingga mencapai ukuran optimal. Lele dumbo merupakan komoditas yang dapat dipelihara dengan padat tebar tinggi dalam lahan terbatas (hemat lahan) di kawasan marginal dan hemat air. Untuk kolam ukuran 15 m2 lele dumbo dapat ditebar sebanyak 5.250 ekor benih. Selama 2, 5 bulan dapat diproduksi lele sebanyak 450 kg dengan nilai fcr (Fed Caonversion Ratio) satu.
Sementara itu, lele lokal (Clanius Batracus) sudah langka dan jarang ditemukan karena pertumbuhannya sangat lambat dibandingkan lele dumbo. Secara umum, sosok lele lokal mirip dengan lele dumbo, hanya ukuran tubuhnya tidak sebesar lele dumbo. Dalam makalah ini akan banyak dibahas tentang lele dumbo, khususnya pula tahap pembenihan dan pembesaran.

C.    Hal yang diperhatikan Sebelum Melakukan Budidaya Ikan Lele
1.      Spesies dan Kondisi Lingkungan Lokasi Budidaya
Pemilihan spesies untuk budidaya dan sistem budidaya yang akan dilakukan terngantug pada tujuan budidayanya: apakah untuk: konsumsi lokal atau untuk eksport olah raga ( pemancingan ), umpan hidup, restocking perairan umum, daur ulang limbah dan sebagainya. Menentukan jenis atau spesies yang akan dipelihara dan sistem budidaya yang akan diterapkan harus berdasarkan pendugaan tentang kebutuhan nasional akan produk budidaya. Kondisi ekologi dan sosial ekonomi daerah juga perlu diperhatikan.Iklim, terutama variasi temperatur dan curah hujan, kualitas air serta kondisi lokasi yang tersedia untuk kegiatan budidaya [enting untuk diperhatikan dalam membuat keputusan.
2.      Lokasi Budidaya
Perkiraan kasar tentang lokasi yang tersedia untuk budidaya diperlukan untuk menentukan jenis kegiatan yang dapat dikembangkan. Dalam hal ini, survei pemilihan lokasi perlu dilakukan sebelum menentukan tempat yang akan digunakan untuk pengembangan budidaya. Informasi tentang sumber air dan biaya untuk instalasi pengaliran air ( jika diperlukan ) sangat perlu diperhatikan.
Jika kegiatan budidaya perairan tergantung pada pemupukan atau pakan alami, maka diperlukan data tentang ketersediaan pupuk organik dan anorganik serta harganya. Selain itu, jika pemberian pakan buatan dalam budidaya akan diterapkan, maka diperlukan data tentang pabrik pakan buatan dalam negeri serta ketersediaan bahan bakunya.
3.      Estimasi Kebutuhan untuk Pasar Lokal dan Ekspor
Pada prinsipnya, data awal yang diperlukan untuk perkembangan budidaya perairan tidak sama antara satu daerah dengan daerah lainnya. Namun demikian ada beberapa data dasar yang secara umum diperlukan untuk membuat keputusan. Estimasi total kebutuhan konsumsi domestik atau kebutuhan eksport produk perikanan merupakan data awal untuk perencanaan  kegiatan budidaya. Data produk perikanan ini merupakan data produksi realistis yang baik yang berasal dari hasil penangkapan maupun dari budidaya.
4.      Kesukaan Konsumen
5.      Kegiatan budidaya merupakan tantangan untuk menerapkan konsep modern tentang market oriented product. Oleh karena itu, sebelum kegiatan budidaya dimulai diperlukan data tentang kesukaan ( demand ) konsumen baik di pasar local maupun internasional.
Budidaya ikan lokal yang digemari masyarakat setempat perlu diutamakan jika tujuan kegiatannya adalah untuk meningkatkan produksi makanan serta meningkatkan gizi masyarakat di daerah tersebut.Oleh karena itu, informasi tentang biologi umum ikan lokal yang akan dibudidayakan merupakan data awal yang di perlukan dalam perencanaan.
Pemilihan lokasi pada kegiatan budidaya perairan skala industri memegang peranan yang sangat penting, karena kegagalan kegiatan budidaya seringkali disebabkan oleh lokasi tidak tepat peruntukannya. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pemilihan lokasi, antara lain:
·         Pasok dan kualitas air
·         Topografi dan tipe tanah
·         Kriteria lingkungan
·         Fasilitas penunjang ( infrastruktur ), legal aspek dan keamanan.
1.      Sumber Air
Air  yang digunakan untuk pengairan ada empat, yaitu : air hujan ( precipitation), air embun ( dew ), air permukaan ( surface water ), dan air tanah ( ground water ). Dari keempat jenis air tersebut, hanya air permukaan yang lazim untuk budidaya. Air permukaan selain kaya akan unsur hara, debitnya juga tetap, seperti air sungai, air waduk, dan air danau. Air sungai walaupun banyak mengandung unsur hara karena perjalanannya cukup panjang, tetapi air sungai juga banyak mengandung waled ( endapan ). Waled sangat potensial mendangkalkan kolam. Oleh karena itu, sebelum air sungai di gunakan, lebih dahulu difilter, dengan cara mengalirkan air tersebut kedalam bak pengendapan dan setelah beberapa hari di bak pengendapan baru air dialirkan ke dalam kolam atau bak pemeliharaan.
2.      Kuantitas Air
Sumber air yang jelas dan memadai berarti memperjelas kuantitas (jumlah) air. Sumber air dan kuantitas air dijadikan ukuran untuk  memilih wadah yang tepat untuk digunakan.  Air yang dalam seperti di waduk dan danau dapat dilakukan pemeliharaan suatu kultivan dengan menggunakan wadah sangkar atau keramba.Sedangkan perairan yang dangkal seperti pada saluran irigasi dan sungai dangkal sangat cocok untuk pemeliharaan ikan sisrem keramba.Pada bagian sungai yang dekat muara yang biasanya agak dalam cocok untuk penerapan system sangkar.
Sedangkan untuk kolam, sumber air yang cocok adalah sungai atau saluran pengairan lainnya.Idealnya, untuk membangun kolam, air harus tersedia sepanjang tahun. Sedapat mungkin air ini juga mudah di alirkan ke kolam tanpa memerlukan alat bantu, karena bila menggunakan alat bantu seperti pompa, tentu akan menambah biaya operasional maupun pemeliharaan.
3.      Kualitas Air
Selain sumber dan kuantitas (jumlah) harus memadai, air yang digunakan untuk pemeliharaan ikan juga harus memenuhi kebutuhan optimal ikan.Dengan kata lain, air yang digunakan kualitasnya harus baik. Ada beberapa faktor yang dapat dijadikan parameter dalam menilai kualitas suatu perairan, sebagai berikut:
·         Oksigen 4-6 ppm. Pada kandungan oksigen 2 ppm lele keli masih dapat bertahan, tetapi beberapa penyakit mudah berkembang.
·         Kandungan karbondioksida terlarut maksimal 25 ppm
·         pH air antara 6,7 – 8,6
·         Daya Menggabung Asam (DMA) antara 2 – 4,5
·         Kandungan ammonia kurang dari 0,1 ppm
·         Kandungan asam belerang (H2S)  kurang dari 0,1 ppm
·         Kesadahan 3-8 Dgh
·         Suhu air antara 25 – 30o  C
·         Kecerahan lebih dari 40 cm
·         Ketinggian 0-600 meter di atas permukaan laut.
·         Muatan suspensi 20-400 ppm
·         Tidak tercemar limbah non-organik.

D.    Teknikn Budidaya ikan lele
Adapun beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan budidaya ikan lele adalah sebagai berikut:
1.      Pelepasan Bibit
Bibit yang dipelihara dalam Pendederan I berukuran sangat kecil, rentan stres, dan cidera, sehingga pelepasannya harus dilakukan secara hati-hati.Yang penting untuk diperhatikan adalah kepadatan bibit, yaitu antara 500-750 ekor/m2.Itu berarti kolam berukuran 2 x 3 m (6m2) dapat diisi 3000-4500 bibit lele.
2.      Pengaturan Air
Kualitas air yang digunakan untuk memelihara ikan pada masa Pendederan I sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan kesehatan ikan. Air kolam harus dijaga sedemikian rupa sehingga tetap bersih.Penggunaan air mengalir dengan sistem pipa paralon adalah yang paling baik dan efektif karena air kolam yang keluar langsung diganti dengan air yang bersih.Apabila kolam belum dilengkapi pipa untuk keluar masuk air, air harus diganti secara manual 2-3 hari sekali, atau sesuai kebutuhan.
3.      Pemberian Pakan
Bibit berukuran 1-3 cm tentu saja belum dapat makan pelet butiran.Pakan yang diberikan kepada bibit lele ini harus mengandung cukup banyak protein untuk mendukung pertumbuhannya.Selama minggu pertama, bibit hanya diberi pakan alami berupa kutu air (Daphnia sp.) dan cacing sutra (Tubifex sp.). Baru pada minggu kedua bibit lele  mulai diberi pellet 581. Pellet ini berbentuk seperti tepung.
4.      Pengendalian Hama dan Penyakit
Selain menjaga kualitas air dan memberi pakan, pembudi daya lele juga harus mencegah masuknya hama dan panyakit. Hama yang sering memakan bibit lele antara lain ular, burung pemakan ikan, kadal, dan katak. Bilamana hama tersebut berhasil masuk ke dalam kolam maka dapat dipastikan akan ada banyak bibit yang hilang.
5.      Seleksi Bibit
Bibit yang telah dipelihara selama 2,5 minggu akan diseleksi untuk yang pertama kali dengan menggunakan ayakan bibit ukuran 3-5 cm. Bibit-bibit yang telah mencapai ukuran 3-5 cm dapat dipanen untuk dibesarkan pada Pendederan II, atau  bahkan dapat langsung dijual. Bibit lele yang didapat dari seleksi pertama disebut Bibir Saringan I. Bibit ini merupakan bibit berkualitas tinggi karena memiliki keceptatan pertumbuhan yang baik.
6.      Persiapan Induk
Teknik pemijahan intensif sebaiknya dilakukan terhadap induk betina yang telah memiliki kedewasaan optimal (umur sudah lebih dari 18 bulan) dan memiliki ukuran yang cukup besar. Denganteknik pemijahan ini, ikan tidak akan menjalani pembuahan alami, tetapi pemijahan akan dilakukan secara buatan. Induk betina yang akan dipijahkan setidaknya pernah dipijahkan selama 2 bulan terakhir. Sementara untuk induk jantan, persyaratannya tidak berbeda dengan persyaratan induk untuk pemijahan alami.
7.      Persiapan Kolam Penetasan
Pada teknik pemijahan intensif, telur dapat ditempatkan pada kolam penetasan seperti  pada teknik konvensional dan semi-intesif. Bedanya, tidak diperlukan kakaban atau ijuk. Ukuran kolam penetasan juga sama, yaitu sekitar 2 x 3 m, 2 x 4 m, atau 3 x 3 m. Ketinggian kolam sekitar 60 cm, diisi air setinggi 30-40 cm.
8.      Penyuntikan Induk dengan Hipofisa/HCG
Induk yang sudah memenuhi syarat segera disuntikan dengan kelenjar hipofisa atau HCG (ovaprim). Metode penyuntikannya sama dengan metode pemijahan konvensional. Induk yang disuntik tidak perlu yang benar-benar telah siap memijah, karena dengan menyuntikanya menggunakan hipofisa maupun ovaprim, hal kematangan gonad akan terjadi dengan cepat sehingga induk segera siap memijah. Setelah disuntik, induk kembali dilepaskan ke kolam induk.
9.      Stripping dan Pembuahan Telur
Proses strpping pada induk betina dapat dilakukan beberapa jam setelah penyuntikan. Selang waktu antara penyuntikan dan stripping sangat tergantung suhu air, jika suhu air cukup hangat (30 °C),stripping dapat dilakukan 7 jam setelah penyuntikan.Sedangkan apabila suhu air cukup dingin (20 °C), selang waktu antara penyuntikan dan stripping sekitar 21 jam. Jika suhu terlalu rendah (<20 °C) atau terlalu tinggi  (>30 °C), penyuntikan hipofisa/ovaprim mungkin akan mengalami kegagalan.
10.  Pemeliharaan Larva
Larva yang baru menetas harus dipelihara di dalam kolam dengan menggunakan air yang bersih dan dengan aerasi yang baik.Hal itu karena larva masih sangat rentan terhadap serangan penyakit.Regulator air sebaiknya dipasang dalam kolam pemeliharaan larva bilamana tidak ada pembaruan air.Ujung selang penyedot regulator air ditutup dengan kain kassa untuk menghindari tersedotnya larva ke dalam regulator.



















BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat di ambil dari dari rumusan permasalahan ini adalah sebagai berikut:
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam memulai kegiatan budidaya perairan, antara lain :
1.      Spesies dan kondisi lingkungan budidaya
2.      Lokasi budidaya
3.      Estimasi kebutuhan untuk pasar lokal dan ekspor
4.      Kesukaan konsumen
5.      Sumber air
6.      Kuantitas air, dan
7.      Kualitas air
Cara – cara budidaya ikan lele, antara lain :
Ø  Pelepasan bibit
Ø  Pengaturan air
Ø  Pemberian pakan
Ø  Pengendalian hama dan penyakit
Ø  Seleksi bibit
Ø  Persiapan induk
Ø  Persiapan kolam penetasan
Ø  Penyuntikan induk dengan Hipofisa / HCG
Ø  Stripping dan pembuahan telur, dan
Ø  Pemeliharaan larva